Penulis : Irsyad Muchtar ( Pemred Peluangnews.id )
- Suaranya lantang, tegas dan menggelegar - lantaran itu Bung Karno berguru kepadanya - memecah kebekuan langit di atas kota Surabaya.
Hari itu, Ahad, 26 Januari 1913, dalam _vergadering_ (rapat akbar) yang dihadiri puluhan ribu massa rakyat, Raden Mas Omar Said Tjokroaminoto mendeklarasi Sarekat Islam, organisasi massa pertama paling progresif di Hindia Belanda.
Pergerakan yang merupakan metamorfosis Sarekat Dagang Islam (SDI) ini mempertegas platform perjuangan membenahi ekonomi kaum pribumi melalui perkumpulan koperasi.
Maka di tahun itu berdirilah Koperasi “Setia Oesaha” berkedudukan di Surabaya. Tjokro pun mendirikan lembaga keuangan berlabel “Bank Kebangsaan”, Perusahaan Asuransi dan ekspor-impor berbasis syariah (Islam).
Pilihan sikap Tjokro bersama SI, tegas menolak logika kapitalisme, pendewaan terhadap kaum pemilik modal, penghisapan terhadap kaum miskin yang menyebabkan jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar.
Kita tahu, Tjokro yang dikenal sebagai guru para tokoh bangsa itu tengah bersiasat menyembunyikan cita-cita SI menuju negara merdeka. Isu, pembenahan perekonomian umat dengan cara berkoperasi dianggap lebih aman dari incaran kebijakan tangan besi kolonial Belanda. Tetapi mengapa memasang embel-embel koperasi ?
Baca juga:
Dr.Hidayatullah, Alumni ke-39 PDIE Unila
|
Di dekade awal abad 20 itu, koperasi merupakan energi baru yang dianggap mampu mengimbangi dominasi kaum kapitalis yang curang dan tidak adil.
Tjokro, maupun dua penggagas awal kelahiran SDI, Samanhoedi dan Raden Mas Tirto Adhisoerjo tentu menyimak perkembangan yang terjadi di Eropa, ketika sejumlah buruh pabrik menginisiasi lahirnya koperasi konsumen yang dikelola secara modern, Rochdale Society (1844) di Inggris.
Ini adalah koperasi pertama yang dikelola dengan mengedepankan etika, yaitu tujuh prinsip koperasi yang kemudian diadopsi oleh *International Co-operative Alliance* dan berlaku universal.
Gerakan yang digadang sebagai _countervailing power_ ekonomi kapitalis itu diikuti pertumbuhan ratusan unit koperasi konsumsi, yang kemudian membentuk sekunder koperasi, *The Cooperative Whole Sale Society (CWS)* tahun 1862.
CSW menggalang publikasi sistematis melalui media internal milik sendiri, *Cooperative News* pada 1870. Sehingga gaung koperasi menggema ke seantero Eropa.
Kita tidak tahu, adakah tipologi koperasi konsumen yang dibangun Tjokro mengacu pada bukti empirik yang berlangsung di benua biru itu.
Yang pasti, selepas _vergadering_ 1913, puluhan toko Koperasi Serba Usaha tumbuh subur di berbagai kantor cabang SI di Jawa, Madura, Sumatera dan Kalimantan.
Dalam tempo singkat SI merebut perhatian kaum pribumi Hindia berkat propaganda melalui surat kabar milik SI yang terbit di sejumlah kota, seperti “Oetoesan Hindia” di Surabaya, “Saratomo” di Surakarta, “Sinar Djawa” di Semarang, “Kaoem Moeda” di Bandung dan “Pantjaran Warta” di Batavia.
1913, tahun pemula yang penuh heroik berkoperasi itu, boleh disebut tonggak kebangkitan perekonomian rakyat. Koperasi tidak hidup di sangkar birokrasi maupun pengaturan kolonial, ia menyusup di tengah deru keringat ekonomi rakyat.
Kuntowidjoyo menulis, pengelolaan toko-toko koperasi yang dilakukan secara rasional dalam dasa warsa kedua abad itu telah merintis jalan ke arah timbulnya gerakan koperasi di kalangan menengah muslim pada 1930-an.
Sayangnya masa bulan madu perkoperasian itu hanya berselang 4 tahun saja. Tjokro tak berdaya menghadapi perpecahan di tubuh SI akibat masuknya paham komunis.
Pada 1917 SI bubar, tetapi kita dapat memetik pelajaran berharga bahwa koperasi-koperasi yang hebat itu hanya berdiri di atas fondasi rapuh; yaitu politik. koperasi sekadar sasaran antara dari kepentingan segelintir elit politik.
Kesalahan itu masih berulang ketika pada 1929 koperasi kembali naik panggung politik melalui Partai Nasional Indonesia. Tujuannya memang mulia, namun upaya yang sungguh-sungguh untuk menghidupkan roh ekonomi koperasi tetap saja masih di dataran wacana.
Koperasi di Indonesia masih belum beranjak dari posisinya yang lemah, hanya sebatas instrumen kepentingan pemerintah dalam mencapai stabilitas ekonomi***